BERITACEPAT24, Jakarta, 22 Juli 2025 – Dua penyanyi papan atas Indonesia, Lesti Kejora dan Sammy Simorangkir, hadir sebagai saksi di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang uji materi UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Kehadiran mereka menyoroti persoalan pelik: ketimpangan perlindungan royalti bagi pelaku pertunjukan, termasuk penyanyi dan band, yang selama ini sering kali termarjinalkan dalam sistem hukum Indonesia.
Musisi Ajukan Gugatan ke MK: Minta Perlindungan Hukum Lebih Adil
Uji materi ini diajukan oleh 29 musisi ternama, termasuk Armand Maulana dan Ariel NOAH. Mereka menilai pasal-pasal dalam UU Hak Cipta, khususnya Pasal 9, 23, 81, 87, dan 113, belum memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi penyanyi yang tampil secara langsung (live performance) maupun dalam rekaman.
Para pemohon meminta agar Mahkamah memberikan penafsiran konstitusional yang melindungi hak ekonomi pelaku pertunjukan, tidak hanya pencipta lagu.
Momen Unik di MK: Sidang Berubah Jadi “Ruang Karaoke”
Dalam sesi sidang, Ketua MK Suhartoyo membuat suasana lebih santai dengan meminta Lesti dan Sammy menyanyikan lagu ciptaan mereka sendiri.
-
Lesti Kejora menyanyikan lagu “Angin”, karya cipta bersama suaminya, Rizky Billar.
-
Sammy Simorangkir membawakan lagu “Bila Rasaku Ini Rasamu”, yang ia ciptakan saat masih bersama Kerispatih.
Momen ini menjadi simbol kuat bahwa penyanyi bukan sekadar perantara suara, melainkan penghidup karya yang patut dihargai secara ekonomi.
Ketimpangan Royalti: Kasus Lesti & Sammy Jadi Sorotan
Kasus Lesti Kejora
Lesti mengaku pernah disomasi oleh pencipta lagu “Ranting”, karena membawakan lagu tersebut di acara pernikahan pada 2016–2018. Ia bahkan dilaporkan ke polisi pada 2025 atas pelanggaran hak cipta.
“Saya bukan pihak yang mengatur izin atau royalti, karena semua sudah ditangani oleh panitia atau LMK,” jelas Lesti di hadapan hakim.
Kasus Sammy Simorangkir
Sammy juga mengalami diskriminasi hak cipta. Meski menciptakan sendiri lagu-lagu Kerispatih, ia harus membayar hingga Rp 5 juta per lagu untuk bisa menyanyikannya kembali di atas panggung.
“Saya ikut membesarkan lagu-lagu itu, tapi saya harus membayar untuk menyanyikannya kembali,” tegas Sammy.
Masalah Sistemik: Ketidakjelasan Izin & Royalti dalam UU
Kedua musisi sepakat bahwa saat ini tidak ada mekanisme yang adil dan transparan untuk mengatur izin penggunaan lagu oleh penyanyi. Banyak penyanyi dikenai sanksi hukum karena dianggap tidak meminta izin, padahal tugas itu seharusnya dipegang oleh penyelenggara acara atau Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Tuntutan Musisi kepada MK: Akui Hak Pelaku Pertunjukan!
Musisi Indonesia meminta Mahkamah:
-
Memberikan penafsiran konstitusional atas UU Hak Cipta agar pelaku pertunjukan dilindungi secara hukum.
-
Menegaskan bahwa penyanyi dan pemusik memiliki hak ekonomi atas karya yang mereka bawakan.
-
Memastikan LMK hanya sebagai perantara administrasi, bukan pemegang otoritas tunggal soal izin pertunjukan.
Relevansi Global: Bukan Hanya di Indonesia
Kasus royalti dan izin lagu bukan hanya terjadi di Tanah Air. Di banyak negara, pengaturan hak cipta sudah mengakomodasi peran pelaku pertunjukan, seperti:
-
AS dan Eropa: Terdapat perlindungan hukum jelas bagi performer dalam hal distribusi royalti.
-
Korea Selatan: Penyanyi mendapat persentase royalti berdasarkan performa, bukan hanya penjualan lagu.
Implikasi Positif Jika Gugatan Dikabulkan
Jika Mahkamah mengabulkan uji materi ini, dampaknya akan sangat besar bagi industri musik Indonesia:
-
Menjadi pijakan hukum baru untuk reformasi sistem royalti digital dan live.
-
Melindungi penyanyi dari tuntutan hukum yang tidak proporsional.
-
Meningkatkan profesionalisme dan transparansi manajemen musik nasional.
Kesimpulan
Kasus yang melibatkan Lesti Kejora dan Sammy Simorangkir bukan sekadar urusan individu. Ini adalah cermin dari masalah struktural yang selama ini dihadapi oleh ribuan musisi Indonesia. Gugatan ke MK ini bisa menjadi tonggak sejarah reformasi perlindungan hak pelaku pertunjukan di Indonesia.